Dari bursa seni di luar negeri ke balai baru di Jakarta: Bertamu ke rumah baru ROH Projects
Rumah beserta seni dan jiwa: Terletak di sela Cikini dan Menteng, galeri ROH membuka ruang pamer baru. Art Calls Indonesia bertamu dan mengulas konsep tuan rumah Jun Tirtadji dan kawan-kawannya
All photos displayed: Copyright Art Calls Indonesia
Jakarta - Karya seorang seniman biasanya tidak dinilai seisi dunia, melainkan oleh golongan tertentu yang peduli dengan perkara-perkara nan kontekstual dalam pergerakan seni rupa di Indonesia. Art Calls Indonesia mencoba mengintip ke dalam golongan ROH, sebuah galeri seni kontemporer berbasis di Jakarta yang aktif sebagai platform untuk merepresentasikan beberapa seniman lokal dan Asia-Pasifik pada tingkat mancanegara.
Galeri ROH dulu melantai di salah satu menara di kawasan SCBD Jakarta, di mana Bursa Efek dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia juga berkantor. Kini, galeri tersebut berpindah ke Menteng, Jakarta Pusat, untuk lanjut mematutkan posisi mereka sebagai penghubung antara ansambel perupa seni lokal dan pelbagai pura seni bergengsi di luar negeri.
Menariknya bukan dari perspektif para impresario dan pembeli seni belaka, karya-karya yang tampil melalui galeri ROH kerap menjelajahi jagat biologi, struktur alamiah dan hal-hal lainnya yang bersifat cukup berbeda.
Pameran Last Words (2021) di ROH, Jakarta
Pameran perdana dengan tajuk nan reduktif
Tiga tahun lepas ROH bermigrasi dari ruang ke ruang temporer selama pandemi. Sekarang, mereka berumah di Menteng dan menyelenggarakan pameran pertama di tempat barunya dengan nuansa reduktif dan tanda-tanda sederhana. Kala ini, kata ‘1’ (satu) dari tajuk pameran ROH melambangkan perwujudan nol menuju satu, layaknya anggota tubuh menyatu. Disini tim ACI menyimak sebuah makna, arti dan tujuan dari perpindahan ROH dalam pameran perdana perpindahan mereka yang dilambangkan dengan tajuk ‘1’.
Bersilaturahmi di rumah ROH
Ruang pamer barunya galeri ROH terletak di sela Cikini dan Menteng, tak terlalu jauh dari Stasiun KRL Cikini. Cukup tersamarkan di antara bangunan perumahan di sekitarnya, galeri ini tampil dengan fasad sederhana, walau sedikit intimidatif dari luar bagi kami yang masih awam dengan seluk-beluk ruang galeri ini. Dengan bertransmigrasi (intra-kota) dari wadah white cube konvensional ke tempat pamer yang mempunyai sejarah personal, karya-karya yang dipamerkan sedemikian merespon dan seolah terukir pada tempat peragaannya, menceritakan sebuah relasi personal antara seniman dan sang tuan rumah selama kubu ROH berjalan. Perpindahan ruang galeri ROH ke sebuah ruang non-konvensional ini mungkin menjadi langkah baru untuk ROH berbaur dengan resipien awam.
Bongkar dan pasang seni
Kurator pameran ‘1’, Ari Respati, menekankan sebuah konteks “kemungkinan” dalam pameran di tempat baru ini. Beliau berharap rasa kemungkinan bisa menjadi fondasi awal terbentuknya konsep pameran atau bentuk karya baru yang dapat dikembangkan di “rumah” mereka dengan selayaknya.
Raw spirit
Pada tempat pamer baru ini, karya-karya yang ditampilkan terlihat dibubuhi pada keadaan ruang. Cerita-cerita artistik oleh kader perupa ROH disematkan pada struktur tembok sekeliling yang menyisakan konstruksi awal bangunan, dirakit secara responsif terhadap protokol suasana di tempat, menyusun ruang negatif secara dinamis.
House Warming gaya keluarga ROH
Tim Art Calls Indonesia cabang Jabodetabek kelas Jakpus (menurut penilaian sendiri huhu) masuk klasemen orang muda Jakarta yang malas main ke mall dan merasa kekurangan tempat tongkrongan sopan di kota ini. – Apa lagi bagi kita-kita yang berbeda, yang adalah bagian dari minoritas, atau yang senang saja bisa nimbrung di tempat-tempat alternatif yang tak komersial. Dengan pola sederhana untuk tidak berwisata di tempat-tempat kesenian, tetapi untuk bertemu dengan golongan-golongan yang tak terlihat; serta bernegosiasi dan menjalin kontak secara nonverbal dan verbal, kami berkunjunglah ke galeri ROH sebagai tamu yang suka malu-malu jika tak disapa duluan.
Tuan rumah Jun Tirtadji
Selaku pendiri galeri ROH dan networker muda, Jun Tirtadji secara pribadi memandu kelompok pegiat seni di galeri beliau. Dengan gaya bicara yang anteng, kalem dan sangat introvert, Mas Jun mungkin tidak secara langsung menggebu-gebu melalui interaksi dengan para tamu, tapi secara jelas menguatkan roh itu sebagai koordinator kesenian tingkat global.
Cukup canggung
Jakarta tentu punya audiens beranimo cukup tinggi untuk dapat berkenalan dengan ruang-ruang kesenian di kota ini; untuk turut berekspresi bebas di safe spaces tersebut, dan mengambil hak partisipasi sendiri. Di kala Taman Ismail Marzuki belum kembali dibuka, dan transportasi umum menuju Museum Macan agak kurang, galeri ROH yang terletak di tengah-tengah kota adalah destinasi yang amatlah strategis. Kunjungan ke galeri ini bisa digabungkan dengan kegiatan refreshing, touch-up dan bersantai di Metropole Cikini ataupun cafe-cafe sekitarnya.
Dikutip dari penjelasan ROH bahwa pameran terbangun di atas pameran sebelumnya, saling berbalas untuk menciptakan sebuah simbiosis. Namun menjalin sebuah hubungan simbiosis di lingkungan baru layaknya pindahan rumah memang tidak semudah itu. Audiens yang menjadi tamu dari rumah ROH mungkin akan merasakan hawa-hawa kecanggungan. ROH membutuhkan engagement yang lebih ramah dalam masa perkenalan ini. Dan sebagai kumpulan kecil yang terdiri dari beberapa seniman, keluarga ROH semestinya membantu dalam fase kenalan oleh masing-masing anggotanya, agar tak makin terasing sebagai penghuni baru di Jalan Surabaya.
Pameran Last Words (2021) di ROH, Jakarta
Bubbles dan masyarakat
Terhadap platform ROH yang dimiliki oleh penggerak seni swasta sekaligus mempunyai cita-cita komersial, tak ada kewajiban bagi mereka untuk tidak hanya bertemu dengan kaum-kaum yang selaras saja. Namun, kota Jakarta nan kaotis ini amatlah membutuhkan kerendahan hati pakar-pakar seni yang sukses di luar negeri untuk memperbolehkan pegiat-pegiat seni di kota ini turut menikmati, bernegosiasi dan bertemu di atas fondasi kesenian. Kendati sohor di tingkat global, kumpulan ROH masih perlu mengakar dalam konteks lokal untuk betul-betul berumah di Menteng, agar tidak terlihat semata sebagai satelit yang berarsitektur modern.
Yang dibutuhkan adalah roh
Dalam biotop Jakarta, dengan tingkat keasaman pH terlalu tinggi dan pemasukan mineral terlalu rendah, akan lebih menyegarkan bila galeri ROH ikut serta sebagai tuan rumah kesenian. Dengan empati dan demi pegiat-pegiat seni di kota ini. Memang, tak ada yang mensyaratkan sebuah galeri swasta untuk mengejar khayalan ini. Meskipun begitu, bagi sebuah galeri yang kuat dan mandiri, kenapa tidak! Kegiatan humas yang keberlanjutan lazim tidak membutuhkan uang, tapi roh!
Pertanyaan yang kami titip: Apakah seni harus dikelilingi khalayak atau pemeran seni yang harus menyambut resipien yang beranimo? Keberpihakan Art Calls Indonesia sendiri cukup jelas dan kami harap artikel ini dapat menjadi forum diskusi untuk perupa, penikmat seni, dan pembaca awam.
This article was first published on April 1st, 2022 and updated with minor revisions - that do not change the essence/opinion of this text - on April 2nd, 2022.
Reporter: Kayla Kai (Mahasiswi Studi Kajian Seni Rupa), Reno Ganesha (Perupa, Art Educator) | Korektor: Khara | Penulis: Marten S.
Teks ini...
...merupakan bagian dari upaya oleh Art Calls Indonesia untuk memberdayakan dan mengajak pegiat-pegiat seni muda untuk turut berpikir kritis dalam aneka konteks. Art Calls Indonesia menafikan perannya media sebagai sekedar penyalur apresiasi pada penggerak seni, melainkan secara aktif ikut serta dalam wacana secara setara, sedemikian kancah seni dapat menjadi lebih kohesif dan makin berkembang.
Info lebih lanjut mengenai galeri ROH: Instagram @rohprojects